SOCRATEZ SOFYAN YOMAN DAN SUARA PIMPINAN GEREJA DI PAPUA
TERANCAM DIBELENGGU
“Gereja dan Pemimpin Gereja Sebagai alat kontrol
Pemerintah suara mereka sebaiknya tidak harus di belenggu”.
Pada Tahun 2009 yang lalu Socratez Sofyan Yoman Presiden Gereja Baptis Papua diberikan gelar kehormatan oleh Masyarakat Lani di Wamena dengan gelar “Dumma atau Silo”. Dumma atau Silo adalah suatu gelar kehormatan tertinggi di dalam adat orang Lani. Penghargaan yang diterimanya itu adalah penghargaan yang tidak sembarang, ia diberikan oleh karena ia dinilai oleh para tetua adat karena keberpihakan yang jelas, konsistensi terhadap perjuangan keadilan, martabat manusia, kesamaan derajat melalui buku-buku, media, seminar-seminar di dalam dan luar negeri. Karena itu hingga saat ini Socratez Sofyan Yoman Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Gereja-Gereja Baptis Papua menggunakan nama depan dengan kata “Dumma”.
Dumma sekelas dengan kata “Mahatma” yang diberikan kepada Mohandas Karamchand Gandhi . Pemimpin spritual dan pejuang rakyat sipil dengan konteks perjuangan nir-kekerasan (non violence) atas dua ajarannya yang terkenal yaitu Satyagraha dan aimsa. Lebih lanjut tokoh ini dikenal dengan nama Mahatma Gandhi di India. Ajaran perlawanan tanpa kekerasan hingga saat ini mendunia dan banyak Universitas di Dunia sekarang membuka program studi tentang JUSTICE AND PEACE atau Perdamaian dan Resolusi Konflik. Penghargaan adat yang lain juga seperti di Afrika Selatan diberikan kepada Nelson Mandela dengan sebutan “Madibba” atas ketokohan dan perjuangannya melawan aparteid di negara itu.
Jadi Dumma artinya pelindung, pengayom, pemberi kenyamanan, pemberi petunjuk, pemberi makan, kepada masyarakat atau dalam bahasa gereja umat yang merasa tertindas, dianiaya, dibunuh, diperlakukan tidak adil oleh siapaun, dengan cara apapun, dengan stigma apapun. Nilai manusia penting karena itu seorang Dumma harus menjadi penolong, dan melindunginya dari setiap tindakan yang berusaha membunuh, membinasakan seorang manusia dari muka bumi.
Dumma Socratez Sofyan Yoman, President Gereja Baptis Papua sejak menjadi Sekretaris Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP-PGBP) terus berbicara dengan keras menyuarakan suara kenabian dan menentang dengan keras seluruh kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat khususnya di Papua, termasuk stigmatisasi rakyat Papua oleh Militer Indonesia seperti Separatis, Makar, OPM, GPL,GPK, dan stigma lain yang tidak manusiawi, tidak bermartabat, tidak elegant, dan tidak beretika kepada rakyat Papua yang dianggap melanggar hukum-hukum di Indonesia yang berlaku atas Papua.
Dumma sering mengatakan sepanjang hak-hak dasar orang Papua dibelenggu, diancam, difitnah, diteror, dibunuh, dinodai, dihina, diludai maka sepanjang itupulah dia akan tetap berbicara secara konsisten menyuarakan suara kenabian dengan seluruh kapasitas, kewenangan yang dimandatkan Tuhan melalui umatNya.
Pernyataan lain yang juga sering dikatakan Dumma adalah muncong senjata tidak bisa menjelesaikan masalah Papua tetapi muncong mulut dapat menyelesaian masalah Papua sesulit apapun secara bermartabat, manusiawi, dan simpatik. Salah satu pemikirannya adalah ide tentang dialog. Menurutnya dialog adalah jalan terbaik, jalan bermartabat, jalan manusiawi, jalan yang sangat simpatik dan elegan dan win-win solution untuk menyelesaikan seluruh persoalan Papua. Karena itu untuk menyelesaikan masalah Papua harus duduk bersama dan bicara melalui jalan dialog Pemerintah Indonesia di satu sisi dan Rakyat Papua disisi lain melalui wakil-wakilnya. Hapir setiap buku yang ditulis Dumma, terus menawarkan ide dialog ini. Dialogdimungkinkan untuk dilakukan saat ini di Papua karena melihat sejumlah persoalan yang tidak pernah terselesaikan ujung pangkalnya.
Dr.Neles Tebay mengatakan dialog perlu dilakukan ketika semua alat atau cara-cara penyelesaian masalah tidak mampu menyelesaikan masalah. Maka dialog adalah solusinya dalam bukunya Dialog Jakarta Papua.
Dumma juga mengatakan bahwa gereja harus menjadi benteng terakhir perlawanan umat Tuhan di Papua. Gereja tidak boleh berkeok-keok di mimbar-mimbar gereja saja, tetapi gereja harus berbicara suara kenabian, mengatakan yang benar kepada siapa saja yang melanggar hak-hak dasar umat manusia. Gereja tidak boleh diam, gereja tidak boleh tutup mulut, gereja tidak boleh berdansa-dansa di dalam tetesan darah dan air mata umat Tuhan yang tertindas, teraniaya, terbelenggu oleh kekuatan-kekuatan yang memenjarahkan mereka di atas tanah leluhur mereka.
Dr. Benny Giay mengatakan ketika serah terima jabatan dari Ketua Sinode Kingmi yang lama Manusia tidak boleh dibunuh, dihina, diperlakukan tidak adil oleh siapapun, atas nama apapun.kepada dirinya, Ia mengatakan bahwa gereja harus bersatu, tinggalkan perbedaan doktrin, keyakinan dan bersatu membelah umat Tuhan yang tertindas.
Karena itu, sejak reformasi bergulir di Indonesia dari 1997 sampai sekarang, termasuk di Papua. Bersama pemimpin gereja yang lain gereja Baptis terus melakukan prokteksi dan perlawanan terhadap pihak-pihak yang mengganggu, merorong kedaulatan rakyat dengan cara apapun, dengan stikma apapun, dalam berbagai kesempatan dan forum di tingkat lokal, nasional dan Internasional President Baptis Papua terus menyuarakan suara kenabian agar persoalan Papua harus diselesaikan secara bermarbat dengan cara-cara dialogis bukan dengan moncong senjata.
Karena suara gereja yang lantang itu gereja Baptis sejak 2006 sudah diobok-obok , diteror, diintimidasi oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggungjawab. Dan sampai pemimpin gereja dilingkungan gereja Baptis dihasut. Perbedaan pendapat dialam demokrasi dan yang dianut gereja baptis dilihat oleh kelompok tertentu sebagai pintu masuk dalam upaya menghancurkan gereja Tuhan ini di Papua. Kasus 27 July 2007 di Gereja Baptis BTN Kotaraja dan 19 Maret 2010 adalah bukti dari kondisi yang diciptakan itu. Sementara keadaan ini menyebabkan umat Tuhan bentrok dan pelaku pengkondisian keadaan umat itu tertawa menonton kedua kubuh yang sedang bertikai diantara mereka. Konflik ini diciptakan dan berharap dengan kondisi seperti itu membuat atau mencoreng nama baik pemimpin gereja. Dan hingga kini kondisi ini masih terus dipelihara. Gereja yang menyuarakan suara kenabian di Papua terus mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Gereja Baptis Papua saat ini.
Target utamanya adalah berusaha menggulingkan pemimpin-pemimpin gereja yang bersuara lantang, agar mereka tidak lagi bersuara ketika mereka tidak dipercaya umat. Upaya terror ini tidak hanya terjadi pada gereja. Pada tahun 1980-an misalnya untuk membunuh Arnold Ap isu yang dikembangkan waktu itu adalah isu perempuan bernama Wati yang haus darah, karena itu masyarakat diminta jangan keluar rumah. Tidak lama kemudian rakyat Papua disuguhkan dengan kematian tokoh antropolog Papua Arnlod Ap. Kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay tahun 2001, sebelumnya isu yang dikembangkan adalah isu drakula yang berseliweran di Kota Jayapura. Tidak lama kemudian rakyat dikagetkan dengan pembunuhan pemimpin besar bangsa Papua itu.
Kasus di Timika, untuk membunuh Kelly Kuwalik, sebelumnya Timika terus terjadi Geyolak, geyojalak itu disinnyalir dilakukan oleh OPM atau juga OTK (orang tak dikenal) salah satu pelakunya dianggap Kelly Kwalik tetapi setelah Kelly Kwalik dibunuh tidak lama Timika masih terjadi lagi beberapa kali geyolak. Kasus di Pucak Jaya target utamanya adalah mencari Goliat Tabuni atau Pemimpin OPM lainnya di wilayah itu tetapi mengapa korban terus terjadi pada rakyat sipil yang tidak berdosa? Apakah mereka menjadi umpan? Menjastifikasi kehadiran militer di wilayah itu maka rakyat sipil harus dikorbankan? Kita lihat aksi-aksi ke depan sebenarnya siap dibalik semua kasus di wilayah itu? Sementara kepolisian masih mengadai-andai sampai saat ini? Siapa sebenarnya pelaku di wilayah itu! Melihat kondisi seperti itu, Markus Haluk mengatakan persoalan Puncak Jaya tidak bisa di lihat sebagai persoalan kriminal biasa tetapi harus di lihat dari seluruh bagian persoalan yang terjadi di Papua. Karena itu upaya penyelesaian seluruh persoalan di Papua harus dilakukan secara menyeluruh jangan secara parsial.
Kembali kepada Dumma, baru-baru ini Presiden Baptis Papua dipanggil oleh Polda Papua bahkan diancam dipanggil paksa dengan nomor polisi: B/792/VIII/2010 tertanggal 7 Agustus2010. Dengan statemen Dumma pada media Bintang Papua tertanggal 5 Agustus 2010. Pernyataannya dinilai menyudutkan TNI/POLRI. Namun fakta sejarah, pengalaman setiap kasus yang terjadi Papua dan bukti-bukti yang ada dan juga sebagai kontrol terhadap Institusi TNI/POLRI yang bertugas melindungi seluruh rakyat Indonesia termasuk rakyat Papua, dinilainya masih lamban, karena konflik di wilayah itu terjadi sejak 2004, kondisi inilah yang sebenarnya memicu komentar pedas yang disampaik pemimpin gereja yang vokal ini kepada TNI/POLRI.
Sikap Polda Papua ini, mendapat respon dari Gustaf Kawer Praktisi Hukum dan Pemerhati Masalah-Masalah hukum di Papua bahwa “…Polda Papua terlalu reaktif terhadap pernyataan Duma Sokrates Sofyan Yoman serta terkesan proses hukumnya prematur dalam melakukan pemanggilan terhadap yang bersangkutan. “Pemanggilan Polda itu kalau mau dilihat terlalu reaktif dan proses hukumnya juga akan sangat prematur,” ungkapnya …Praktisi hukum ini mengatakan, Polisi sebagai lembaga pengayom masyarakat harus bisa menerima kritikan dengan besar hati, apalagi kritikan yang dilayangkan kepada polisi tersebut merupakan satu bentuk kepercayaan masyarakat kepada polisi. “Polisi jangan alergi untuk dikritik, apa yang dikatakan pak Yoman itu karena dia prihatin dengan umat di sana, kita semua tahu kalau bahwa penembakan di Puncak ini sudah terjadi lama, banyak pasukan di sana, inikan jadi pertanyaan,” terangnya. Kawer mengatakan juga bahwa, seharusnya Polisi menggunakan hak jawab lewat media, bukan malah mengirim surat pemanggilan terhadap masyarakat yang mengkritisi kinerja Polisi, pasalnya kritikan Duma Sokrates Sofyan Yoman tersebut dilakukan lewat media. “Pak Yoman tidak melakukan kejahatan, jadi Polisi tidak perlu lakukan pemanggilan, dia kan bicara lewat media, maka polisi juga punya hak untuk menjawab lewat media,” sarannya. Nah, kalau Polisi sudah bertindak seperti ini, ragu Kawer, maka semua kritikan dari masyarakat yang sebenarnya merupakan hal yang lumrah dalam era demokrasi ini bisa dianggap sebagai sesuatu yang melanggar hukum, dan siapa saja bisa dipanggil oleh Polisi.“Kalau beginikan repot, karena polisi tidak mau dirinya di kritik,”
Kondisi ini menunjukan setiap pemimpin gereja yang menyuarakan suara kenabian sebagai bentuk atau upaya kontrol terhadap seluruh kebijakan pemerintah dan TNI/POLRI di Papua terancam dibelenggu. Menurut pengamatan kami adalah merupakan upaya terror tetapi juga menjadi target untuk mengganggu kinerja pemimpin gereja di Papua. Seharusnya di dalam alam demokrasi seperti dewasa ini pemanggilan seperti ini sudah tidak relavan lagi. Praktisi hukum Gustav Kawar mengatakan pemanggilan terhadap Yoman adalah premature, karena Yoman bukan criminal atau orang yang menjadi target operasi karena beliau mengatakan komentarnya kepada media, maka seharusnya kaunter Polda Papua seharusnya juga melalui media bukan melalui surat pemanggilan seperti itu. Kalau setiap anak bangsa melakukan komentar dimedia, lalu semua dipanggil melalui surat dari Polda seperti ini maka kita sedang menghambat fungsi kontrol masyarakat terhadap institusi TNI/POLRI atau Pemerintah, karena itu kondisi ini menunjukan bahwa professionalisme penegak hukum di Papua patut dipertanyakan.
Satu pemimpin gereja terancam, diteror, maka semua pemimpin gereja juga terancam, ruang suara kenabian, ruang demokrasi di daerah sedang dibelenggu, gereja berusaha dibungkam dengan cara-cara seperti ini. Pemimpin gereja saja sudah diancam, diteror, apalagi rakyat biasa. SMS teror kepada Dr.Neles Tebay misalnya juga diterimanya dengan isu-isu miring tentang kondisi pemimpin-pemimpin Papua, atau ancaman terhadap dirinya hal ini dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mau pemimpin gereja menegahkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan tugas dan panggilan gereja.
Berdasarkan teori human need kondisi ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan Papua dalam kondisi yang sangat tidak aman buat setiap person baik orang asli Papua ataupun non Papua. Di lihat dari teori ruang public, kondisi/iklim yang diciptakan di Papua menunjukan public sphere rakyat Papua dan pemimpin-pemimpin Papua ruang gerak mereka dipersempit. Mengacu dengan dua teori tersebut maka kondisi di Papua perlu penanganan serius terhadap ancaman kemanusiaan. Dengan kata lain Papua harus mendapat perhatian serius oleh semua pihak, baik masyarakat Internasional, masyarakat nasional maupun masyarakat Papua, perlu ada kontral secara kontinyu setiap detik tentang apa yang terjadi di Papua saat ini. Sekian.
Penulis, Staf Pada Badan Pelayan Pusat Persekurtuan Gereja-Gereja Baptis Papua
Oleh:Pares Wenda